"Aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini,"

--adalah satu kalimat yang kerap kali terlontar dari mulutmu, yang entah kenapa tak pernah terdengar membosankan di telingaku.

Aku selalu menyukai ucapanmu setelah 'prolog' tadi. Setiap harinya berbeda, namun aura yang kau keluarkan selalu sama.

Matamu yang memancar terang serta seutas senyum simpul seraya menuntaskan deskripsimu.

Kalau hanya kalimat itu saja yang akan keluar dari mulutmu sampai akhir hidupmu, aku rela mendengarkannya sambil tersenyum dan mengangguk sok mengerti.

Asalkan kau bisa terus berada di sampingku, aku tak keberatan.


Jakarta, 7 Januari 2015

"Hah, kenapa hari ini harus turun hujan?"

Gadis bermantel kuning itu memanyunkan bibir bawahnya, tangannya dimajukan sedikit untuk merasakan tetesan hujan yang terasa seperti ribuan jarum kecil.

Tapi meskipun menggerutu karena perjalanannya pulang tertunda, gadis itu menghirup aroma tetesan air yang jatuh.

"Aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini."

Gadis itu menoleh ke sebelah kirinya, mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi sedang berdiri di sampingnya, memandang ke arah hujan.

"Hm?"

Sekian detik laki-laki itu terdiam, hingga Namira--nama gadis itu--kembali memperhatikan air hujan yang turun membasahi jalan di depan halte. Tak beberapa lama kemudian, hujan itu mereda.

Namira merapatkan mantelnya dan mulai melangkah meninggalkan halte tersebut. Sejenak, dia menengok lagi ke arah laki-laki itu, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun.

Mengangkat bahunya, Namira pun kembali berlalu.

"Petrichor."

Satu kata yang terlontar dari mulut yang sama membuat langkah Namira terhenti. Perlahan, gadis itu menoleh ke arah laki-laki itu.

"Petrichor; the smell of the earth after a rain."

Kalimat itu sukses membuat Namira takjub, sekaligus membuat keningnya berkerut bingung.

Laki-laki itu menolehkan wajahnya ke arah Namira, lalu tersenyum kecil.

"Cepet pulang, nanti turun hujan lagi."

Maka ia pulang.


Jakarta, 21 Januari 2015

"Ujung rumput yang runcing menggelitik punggungku, tapi aku menikmati setiap menit-menit yang kuhabiskan untuk memperhatikan awan yang berarak, se--"

Jemari Namira yang sedang menari diatas keyboard laptopnya terhenti begitu dia merasakan sepasang mata sedang mengamatinya.

Perlahan, Namira menaikkan posisi tubuhnya dari yang sedang berbaring menjadi duduk.

"Jangan."

Satu kata yang terlontar dengan dingin membuat Namira berhenti dari posisinya yang sudah setengah duduk menjadi kembali berbaring.

"Kamu.. Siapa kamu?"

Alih-alih menjawab pertanyaannya, lelaki itu duduk di sebelah Namira.

"Kita pernah ketemu di halte waktu itu. Saat itu sedang hujan, ingat gak?"

Kening Namira mengernyit, "siapa?"

"Kau lupa." cetus lelaki itu sambil tersenyum kecil.

"Maaf," balas Namira sambil memalingkan wajahnya ke arah lelaki itu, "tapi.."

"Kau sedang apa?"

Pertanyaan Namira terputus, membuatnya menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab.

"Kan bisa lihat sendiri, aku sedang mengetik."

"Mengetik apa?"

"Mengetik apa ya?" pikir gadis itu juga.

Ia mengangkat bahunya samar, "entahlah."

"Kau sendiri tidak tahu?" tanya lelaki itu lagi, "bagaimana bisa?"

"Ini cuman tulisan iseng," jawabnya.

Lelaki itu pun memutuskan untuk berhenti bertanya dan hanya menatap langit. Namira yang ada di sebelahnya pun mengikuti lelaki itu.

Menit-menit mereka lalui dengan keheningan sambil hanya memandangi awan, nyaman dengan keberadaan masing-masing.

"Aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini,"

Namira menoleh, "Hm?"

"Nubivagant; wandering in the clouds."


Jakarta, 16 Februari 2015
17.26

Senja itu tampak seperti senja-senja yang biasa Namira lalui. Di kafe kecil yang nyaman, gadis itu duduk santai di salah satu kursi.

"Kata orang, kebetulan yang ketiga adalah takdir."

Mata gadis itu menoleh ke suara berat di belakangnya. Namira menghela napas.

Dengan kehadirannya, senja ini menjadi tidak biasa.


Jakarta, 16 Februari 2015
17.48

Hampir dua puluh menit berlalu dan akhirnya Namira tahu namanya.

"Panggil saja, Ramma." tambahnya.

Namira mengangkat bahunya samar, "oke."

Melihat Ramma terdiam, gadis itu pun melanjutkan aktifitasnya yang sempat terputus tadi: membaca.

Sesekali Namira mengintip dari balik buku ketika sedang membalik halaman, memperhatikan lelaki aneh yang tiba-tiba muncul di hadapannya sampai tiga kali.

Dan lebih anehnya lagi, sekarang dia berada di hadapannya sambil menyesap kopi.

Ada sesuatu yang Namira rasakan saat melihat pria itu duduk di hadapannya, dengan santai sambil sesekali menyesap kopi panas. Ada sebuah gelenyar aneh yang menyelubunginya.

"Kita ini satu kompleks." ucap Ramma tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone.

Kening gadis itu berkerut, "hm?"

"Kamu pasti bingung kenapa kita bisa sering ketemu tanpa sengaja. Enggak, aku bukan creepy stalker atau apalah. Aku cuman tetangga barumu."

Namira mengangguk-angguk, "apa aku pernah melihatmu sebelumnya?"

"Seharusnya sih sudah."

"Seharusnya?"

Ramma terkekeh pelan, "cuma ada satu halte di daerah sini. Jadi mungkin kita pernah menunggu bus bersama,"

Namira mengangguk, "lalu?"

"Lalu?" Ramma mengerutkan alisnya, "lalu, ya, tidak ada lalu lagi."

"Hmm," Namira menaruh bukunya, "aku nyaris mengira kau seperti pria-pria di film. Kau tahu? Yang suka tanpa sengaja berpapasan selalu, padahal mereka tidak ada hubungannya."

"Memangnya kau berharap aku ini apa? Laki-laki yang tinggal di planet lain lalu tiba-tiba bisa ada di Jakarta dan selalu bertemu denganmu?"

Seberangnya tertawa kecil, "yah, seperti itulah."

"Dunia ini terlalu luas untuk kebetulan sesempit itu."

Gadis itu mengangguk, menyetujui ucapan Ramma dan kembali mengambil bukunya.

Seperti sebelumnya, sesekali Namira mengintip saat membalik halaman. Dan sesekali juga, pandangan mereka bertemu.

"Aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini,"

"Coba beritahu aku."

"Mamihlapinatapai; a look shared by two people, wishing they would start something but none want to start."


Keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi, dan keesokan harinya lagi—sampai itu sudah menjadi tabiat Namira—ia memperhatikan lingkungan sekelilingnya.

Namira menyadari banyak hal yang selama ini luput darinya, padahal ia tinggal di lingkungan yang sama.

Anita yang ramah berjarak dua rumah darinya, Sina dan Sora si kembar dampit yang gemar olahraga, Mang Tejo penjual susu segar, kini Namira tak merasa sendiri.

"Namira!"

Sebuah sapaan dari suara yang dikenalnya membuat Namira menoleh.

"Hai," sapanya juga sambil tersenyum.

"Sedang apa?" tanya Ramma, yang membuat gadis itu mendecak kesal ke arahnya.

"Aduh," Namira menggelengkan kepalanya, "selalu menanyakan hal yang tidak perlu. Memangnya kau tak bisa lihat sendiri?"

Ramma tertawa melihat Namira yang mendelik sambil mengacung-ngacungkan sebuah es krim ke depan wajahnya. Seakan-akan es krim itu bisa berjata, "Halo, gadis ini sedang membeliku lho!!"

"Baiklah, baiklah, sekarang jauhkan es krimnya dari wajahku."

Namira menurut dan membawa es krimnya ke kasir—sambil cemberut, tentunya—diikuti Ramma yang mengantre di belakangnya.

"Hey!"

Ramma mengangkat satu alisnya, "apa?"

"Kau mengikutiku ya? Kau ikut-ikut beli es krim kan?!" tuduhnya.

Lelaki berkaos abu-abu itu mendecak kesal, mengikuti gaya Namira, "kau lihat keluar. Hari ini panas sekali! Wajar, dong, kalau beli es krim. Lagi pula, memangnya hanya kau yang boleh membeli es krim?"

"Ish." gumam Namira sambil membayar es krimnya.

"Tunggu!" teriak Ramma yang juga buru-buru membayar es krimnya dan menyusul Namira.

Namira memutar bola matanya dan membalik tubuhnya, "Apa lagi?"

"Es krimmu rasa apa?"

"Ish, kau ini. Lihat sendiri ya, ini rasa stroberi!" jawab Namira sambil cemberut sedikit, tapi kembali memakan es krimnya.

"Es krim ku rasa coklat." ujar Ramma dengan wajah polos sambil menjilat es krimnya.

"Aku tahu." jawabnya singkat sambil kembali berjalan.

Ramma mensejajarkan langkahnya, "kau mau coba punyaku?"

"Tidak." tandas Namira sambil menggeleng.

"Yakin?"

"Iya!"

Ramma mendekatkan es krimnya sampai ke depan wajah Namira, "kau seharusnya mencobanya saja." lalu dengan satu gerakan, ujung es krim itu mengenai hidungnya.

"Heh?! Ramma! Aish, kau ini?!" gerutu Namira heboh begitu merasakan hidungnya dingin, diiringi tawa Ramma.

"Kau tahu, melihatmu belepotan es krim, aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini."

Namira cemberut sambil mengusap hidungnya.

"Apa?"

"Gigil; the overwhelming urge to pinch something cute." jelas Ramma sebelum mencubit hidung Namira gemas, membuat gadis itu terdiam dengan jantung yang hampir melompat.


"Na!"

Namira menoleh dan tersenyum mendapati Anita sedang melambaikan tangannya.

"Eh, Anita. Kenapa?"

Gadis berambut pendek itu nyengir dan mengacungkan dua lembar tiket ke arah Namira, "taa-daa! Aku punya dua tiket gratis buat festival musim panas malam ini."

"Lalu?" tanya Namira sambil menahan senyum.

Anita menyodorkan tangan kanannya, "dua-duanya buat kamu."

"Eh? Lalu kau sendiri?"

"Huh! Seandainya aku bisa pergi, tentu saja tiket ini tidak akan kuberikan padamu. Sayangnya saja, aku ada keperluan mendadak. Daripada terbuang percuma, lebih baik kuberikan padamu! Iya, kan?”

Namira mengerutkan keningnya, "aku harus pergi dengan siapa, ya?"

"Sama Ramma, lah." usul Anita membuat Namira hampir tersedak.

"Heh! Kamu ini! Ma–"

"Oh, itu orangnya," Anita melambaikan tangannya heboh, "hoy, Ramma!"

Dengan snapback terbalik di kepalanya, Ramma menghampiri dua gadis itu sambil tersenyum lebar.

"Ada keributan apa ini?"

Anita menahan tawanya, "Namira mau mengajakmu ke festival musim panas. Tapi dia bingung mau bilangnya bagaimana,"

"Heh! Ani–"

"Wah!" Ramma segera mengambil dua lembar tiket dari tangan Namira, "aku bersedia menemanimu, kok."

Namira terperangah, "Aduh, siapa juga s–"

"Wah, bagus deh! Aku pamit dulu ya! Dah!" pamit Anita disertai dengan kerlingan nakalnya, meninggalkan Namira dengan Ramma.

"Jadi, bagaimana?" suara Ramma menyadarkan Namira yang sedang bingung.

"Apanya yang baga–" Namira melihat tiket itu lalu mengerjap-ngerjapkan matanya, "terserah kau sajalah."

Dengan pipi yang memerah, Namira membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah ang berbeda dari Ramma.

"Namira!" seru Ramma yang tak digubris gadis itu.

"Aku tidak dengar aku tidak dengar aku tidak de–"

"Nanti malam kujemput pukul tujuh, ya!"

"–ngar."


Namira tidak pernah menyukai keramaian.

Karena itu juga, hiruk pikuk orang yang memenuhi area festival sambil bernyanyi keras atau bertepuk tangan malah terdengar bising di telinga gadis itu.

"Ramma, gimana kalau kita ke arah sana saja?" katanya sambil menunjuk ke daerah yang tidak banyak orang.

"Kenapa?" cengir Ramma, "kau mau berduaan denganku?"

Sekejap mata Namira melebar dan dengan cepat dilayangkannya satu pukulan ke tangan Ramma.

"Aduh, kenapa?!" Ramma mendelik sambil mengusap-usap bekas pukulan Namira.

Namira memanyunkan bibir bawahnya, "pikir saja sendiri."

Ramma pun hanya menatap Namira sekilas lalu kembali menikmati pengisi acara yang sedang membawakan sebuah lagu.

Penampilan Namira kali ini sangat manis di mata Ramma. Gadis yang biasanya memakai kemeja dan celana kali ini tampak dengan dress hitam bermotif bunga. Sneakersnya juga kali ini berganti dengan sepasang flat shoes.

"Hey, kau kenapa?" tanya Ramma.

Namira menggelengkan kepalanya– mengisyaratkan tidak apa-apa.

Tapi Ramma memperhatikan gerak-gerik Namira yang gelisah sedari tadi, lalu menarik tangannya, "kau mau beli minum?"

Sontak Namira menoleh dan mengangguk-anggukan kepalanya cepat, membuat Ramma tertawa dan membawanya berlalu dari keramaian.


"Namira,"

Gadis itu menoleh dengan jagung bakar penuh di mulutnya, "hmm?"

"Aku baru tahu kau tidak suka dengan keramaian."

"Oh," Namira menoleh ke arah Ramma, "hm. Entah kenapa, kepalaku pusing kalau melihat banyak orang."

"Jadi itu alasan kenapa kau selalu sendirian disaat aku menemukanmu," gumam Ramma.

“Apa?" toleh Namira sambil menaikkan satu alisnya.

"Tidak," Ramma pun berdiri dan mengulurkan tangannya, "ayo pulang. Sudah larut."

Namira menyambut uluran tangannya dan berjalan ke mobil.

"Kau senang hari ini?" tanya Namira.

Ramma menoleh, "hmm."

"Kok bisa? Padahal, hari ini kau bahkan tak bisa menikmati festivalnya."

"Kata siapa?"

"Belum ada satu jam, kita sudah keluar dari keramaian."

Ramma tertawa pelan, "Yah, melihatmu dengan pipi penuh jagung bakar dan bersikap manis–walaupun kau memukulku sekali–sudah membuatku cukup puas."

Tubuh Namira sejenak terhenti, lalu ia merasakan aliran darahnya melaju lebih cepat, membuat seluruh tubuhnya dijalari rasa hangat.

Namira menggelengkan kepalanya, segera sadar lalu bersikap seperti biasanya.

"Makasih, ya." cengir Namira sambil memasuki mobil.

Ramma hanya tersenyum lalu mulai mengemudikan mobilnya.

"Nam–yah," umpat Ramma begitu melihat gadis itu sudah tertidur pulas.

"Kenapa kau malah tidur, bodoh." gerutu Ramma sambil menahan kepala Namira.

Awalnya Ramma merasa kesal, tapi melihat gadis disebelahnya itu tertidur pulas, ia tak bisa menahan senyum.

"Kau tahu, sebetulnya aku punya kata yang tepat untukmu saat ini."

Ramma berhenti sejenak, berharap Namira akan terbangun. Tapi nyatanya tidak.

"Carcolepsy; a condition where a passenger fall asleep as soon as the car starts moving."

Mengusap kepalanya pelan, Ramma melanjutkan.

"Melihatmu tidur sangat lucu, tapi coba saja kau tidak tidur sekarang. Coba saja kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi."

"Kalau saja kau tidak tertidur.."

Ramma menghela napasnya panjang, menyingkap poni yang menutupi dahi Namira.

"Kalau saja kau tidak tertidur, mungkin kau bisa mendengarnya."

Ramma menunduk, mengecup dahi Namira lembut.

"Sepertinya aku mulai jatuh."


Bandara Internasional Soekarno Hatta
08.35

"Pergi jauh-jauh sana, jangan coba-coba berpikir untuk kembali, ya!"

Ramma tertawa sambil membetulkan snapbacknya, "benar?"

Namira hanya mendelik sebal, tapi kemudian tersenyum kembali, "jangan lupa bawa oleh-oleh."

"Ck, kampungan sekali. Belum pernah ke luar negeri ya?"

Namira menggelengkan kepalanya, "belum."

"Nanti kapan-kapan aku akan mengajakmu."

"Serius?!" Namira tersenyum lebar, "kapan?"

"Kapan-kapan, kalau punya uang." jawab Ramma santai sambil menahan senyum.

"Dasar," gumamnya kesal.

Ramma tersenyum lalu mengacak rambut Namira, "aku punya beberapa PR untukmu. Kalau sudah selesai, saat itu aku akan kembali."

"Hmm. Apa saja itu?"

"Yang pertama, berbaurlah. Terus latihan agar terbiasa berada di keramaian."

Namira memutar bola matanya, "iya, iya."

"Lalu, bersikaplah ramah. Jangan terus menerus jadi menyebalkan seperti ini," ujar Ramma lalu mencubit hidung Namira.

"Hey!" delik Namira.

"Yang terakhir, cari pacar. Banyak cowo ganteng yang berkeliaran. Mengerti?"

Namira tersenyum kecut, "mungkin yang itu baru bisa kulaksanakan begitu kau pulang."

Ramma hanya tertawa renyah, "jangan terlalu merindukanku, ya?"

"Cih, siapa juga yang akan merindukanmu?"

Dalam satu gerakan, Ramma mendekatkan wajahnya pada wajah Namira, membuat mata gadis itu membelalak lebar mengingat jarak mereka yang terlalu dekat.

"K-kenapa lagi?"

Mata Ramma yang teduh menatap mata Namira dalam, menikmati setiap detik-detik yang tersisa.

"Aku tahu kata yang tepat untuk menggambarkan ini,"

Namira hanya terdiam, masih terpaku akan kelakuan Ramma yang tiba-tiba.

"Adieu."

Namira mengambil napas sejenak, menenangkan dirinya dan seluruh tubuhnya yang tiba-tiba menjadi kaku.

"Artinya?"

Ramma terdiam sejenak, lalu mengambalikan posisinya ke posisi semula.

"Para penumpang jurusan Berlin dengan nomor penerbangan A-1389 dimohon untuk memasuki pesawat."

Namira terdiam sejenak, lalu menyunggingkan senyum pada Ramma.

"See you later in three months, okay?"

Ramma menatap Namira nanar, lalu tersenyum tipis.

"Yes. Adieu,"

Belum sempat Namira menanyakan arti dari kata tersebut, Ramma memeluk Namira erat, lalu berbalik pergi dan meninggalkan gadis itu tanpa mengetahui arti dari kata tersebut.

Butuh waktu setengah tahun kemudian bagi Namira untuk mengetahui arti kata tersebut.


Untuk Namira,

Gadis yang tinggal 3 rumah setelah rumahku, di sebuah rumah kecil yang selalu tertutup pintunya, membuatku selalu bertanya-tanya siapa yang ada di dalamnya.

Ada banyak hal yang sebetulnya ingin kusampaikan, namun waktu yang kita miliki terlalu singkat. Mungkin saat kau melihat surat ini, kau sudah sadar kalau aku mungkin takkan kembali.

Yang pertama, maaf.

Maaf karena sudah berani memasuki hidupmu disaat aku tahu waktu yang tersisa tinggal sedikit. Tapi lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan? Rasanya tidak rela aku pergi tanpa mengetahui gadis cantik yang tertutup itu.

Yang kedua, terimakasih.

Terima kasih sudah mewarnai sisa-sisa bulan yang kuhabiskan di negara ini. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk masuk ke dalam pintu yang selalu tertutup itu.

Dan yang terakhir, sepertinya aku jatuh lebih dalam daripada yang kurencanakan.

Sepertinya untuk yang terakhir tidak butuh penjelasan, ya? Aku juga tidak tahu apa yang harus dijelaskan.

Kalau memang takdir, kita akan bertemu suatu saat nanti lagi. Dan kalau sampai kita bertemu lagi tanpa kita rencanakan, aku bersumpah tidak akan melepaskan tanganmu lagi.

Tapi, dunia itu terlalu besar untuk kebetulan sesempit itu.

Ya sudah, biarlah takdir kita yang bekerja. Yang baik-baik disana, ya. Jangan lupa PRmu!

Adieu,

Ramma.


Adieu; a goodbye to someone you'll never meet again.

( Made with Carrd )